Sebatas Keresahan
Kemarin aku sempat membocorkan sedikit mengenai buku keduaku. Aku sengaja mengunakan tokoh Jokpin. Karena entah mengapa, aku menemukan sesuatu yang lain dari diri Jokpin.
Dalam pengantar ini, izinkan diriku bercerita tentang puisiku terlebih dahulu. Sebelum menjadi serumpun buku, sebelum menjadi sebuah karya cipta, ini adalah karya yang ala kadarnya, aku juga adalah seorang anak yang seringkali resah tentang kehidupan yang penuh tanda tanya ini. Setelah mengenal Rangga, mengenal Soe Hok Gie, mengenal Wira Nagara, sampai tiba akhirnya mengenal Joko Pinurbo atau kerap dipanggil dengan Jokpin, aku memilih untuk menghidupi dunia yang penuh hingar-bingar ini lalu merangkap menjadi seorang penulis puisi, yang mencoba merenungi bahwa puisi adalah suatu harmoni, suatu syair yang hidup, yang mekar hingga ke padang mahsyar, dan yang membuatku merasa puas menumpahkan tumpah-ruah keresahan.
Aku tidak ingin dipanggil penulis, karena bagiku setiap orang punya potensi untuk menulis. Aku lebih senang jika dipanggil 'buiten het gareel', walaupun kehidupan ini tak sebebas dan tak se-idealis yang aku bayangkan dan yang aku inginkan. Aku lebih suka dengan sabda khasanah aforisme spiritual Jawa yang di tulis oleh J. Sumardinanta "Hidup ini sesungguhnya susastra yang terhampar di Jagat Raya. Tuhan bisa di temukan dengan segala. Temukanlah Tuhan dalam kehidupan keseharianmu yang berpeluh dan penuh bercak kesulitan". Sebuah kehidupan sama dengan sebuah sastra yang tak pernah usai, mencari jati dirinya dalam diksi-diksi yang penuh teka-teki. Puisi-puisi Jokpin amat mempengaruhi dunia sastraku yang lugu, biru dan kadang pula haru. Aku mencintai setiap judul yang tertera. Kadang membuatku ketawa-tawa. Menyukai setiap isi nya yang penuh guyon dan mahal. Kadang bahasa-bahasanya tak bisa ku pahami, dan aku tetap menyukainya. Karena bagiku, tiap penulis punya gaya bahasa yang sulit tersendiri yang mengejawantah menjadi sebuah puisi. Aku menemukan diriku yang mesra, yang sulung, yang resah dalam puisi-puisi Jokpin dan juga Gie. Tak hanya puisi, aku juga menyukai lagu-lagu Kunto Aji seperti sebuah mantra sihir yang membuat luka batinku menjadi sembuh dan banyak memberikan sumbangsih dalam puisi-puisiku. Aku lalu berkaca di jendala kamar, atau kadang di spion motorku. Aku seperti sedang menemukan diriku yang lain, merasa terbang bersama kata-kata, riuh dalam puisi-puisiku yang mengejawantah menjadi pribadi seorang Jokpin.
Jokpin sebagai seorang penulis, guru, dan penyair adalah tokoh dengan kekonyolan, menempatkan dirinya diantara inkarnasi dari Chairil Anwar, Wiji Thukul dan Sapardi Djoko Damono, bahkan aku pernah melihat sebuah poster dua sosok tokoh ini menjelma menjadi "Sapardi Joko Pinurbo". Nyanyian sastra keduanya membumbung tinggi sampai ke langit aksara. Jokpin adalah sosok yang tak bisa dibungkam di antara riuhnya sastra dan Yogyakarta. Kadangkala, Jokpin menjadi sosok yang amat alim, melankolis, dan menemukan dirinya dalam secangkir kekosongan, menemukan dirinya dalam kursi kayu tua, dalam jendela yang menyorotkan nanarnya senja. Jokpin adalah kata-kata bagiku, seorang pengelana yang terus meratapi dan mencari jawaban dalam kalimat-kalimat sastranya.
Barangkali puisi Jokpin lebih berkesan, maka puisi ini pun akan sama lebih berkesannya juga dalam masa tua Jokpin. Maka dengan begitu, aku tiba menemukan diriku. Di antara batu-batu pualam yang menjulang tinggi, di antara kursi-kursi gereja yang berjejer rapih, di antara sajadah-sajadah masjid yang bersih, di antara senja yang dimakan adzan maghrib, di antara deru ombak dan angin laut yang riuh, di antara kawah pegunungan seperti tapak kapas langit yang menghampar luas, dan di antara semerbak doa ibu yang merdu. Dalam keadaan melankolis itu, aku menemukan diriku dalam sesosok Jokpin yang senang membiru. Sosok yang penuh kecemasan dan senang merasa kosong di antara bait-bait puisi yang tak berkesudahan.
Sampai tiba di masa tua, Jokpin dalam buku ini berubah menjadi sosok yang senang sekali diam, mencoba untuk bermain kata, beribadah kata dan mengenal dirinya dalam bahasa-bahasa yang resah. Hidupnya penuh kepingan-kepingan kenangan yang telah mengeras yang kadang bertentangan atau seirama bersama sastra dan kekonyolan puisinya. "Hidup adalah jalan yang konyol menuju pada jalan yang benar." Begitulah ungkap Jokpin (lebih tepatnya aku, yang merangkap dalam sesosok Jokpin). Jokpin selalu membuat pembaca ketar-ketir dalam bahasanya yang bergemuruh, luruh, dan riuh. Tidak ada kepuasan dalam diriku dan Jokpin dalam mengenal sastra, bahwa sastra adalah sekedar sastra. Tidak. Aku menuntut untuk mencari penjelasan, bahwa sastra itu mutlak dalam diri kita yang lain, bahwa ada yang mutlak kita alami, bukan huru-hara duniawi, bukan hiruk-pikuknya duniawi, tapi rasa itu sendiri. Kalau Decard berhak mengatakan melalui mantra filosofinya, "Cogito Ergo Sum", maka aku pun berhak mengatakan "Aku bersastra, maka aku ada". Perasaan kita yang menyelam dalam tiap-tiap kehidupan. Sesuatu yang kita rasakan dalam hati nurani paling dalam. Itulah yang mutlak. Maka, sastra adalah penggambaran jiwa dan naluri kita yang lain, dan seluruh pelampiasan kita yang tak lain.
Dengan pengantar ini, aku tidak akan pernah tahu apa yang kau dapatkan dalam buku ini nanti. Apakah kau ikut menyelam atau sekedar membaca saja? Beruntunglah bagi mereka-mereka yang membaca hanya tak sekedar membaca, membeli tak sekedar covernya menarik. Tapi ia pun merenungi, merasa terbagi, merasa buku ini mempunyai nyawa yang lain. Buku ini pun pada akhirnya adalah serumpun kekonyolan untuk tidak menafsirkan sesuatu secara konyol.
#seeyousoon
Azhar Azizah
Komentar
Posting Komentar