Langsung ke konten utama

Perawan dan Harga Diri

 

“Apakah Harus Malu dengan kata Perawan?”


Penulis : Azhar Azizah, penyuka kopi, kiri dan melankolis.-

Sebenarnya pertanyaan itu, adalah hal yang biasa bagi perempuan. Tetapi saat kata itu menjadi sebuah satire hingga mengalami cocoklogi dikalangan masyarakat, khususnya kaum laki-laki, kata itu sesungguhnya mengalami penyempitan makna, semakin orang memainkan kata itu, perempuan semakin tertutup eksistensinya, kemerdekaannya, dan segala macam ruang yang melingkupi dirinya. Tetapi sesungguhnya, apa yang kita ketahui makna dari kata ‘Perawan’? apakah kita (perempuan) harus malu dengan kata Perawan? Apakah keperawanan adalah tolak ukur untuk menentukan harga diri kita? Dan bagaimana cara kita (perempuan) dalam menyikapi makna kata tersebut? Rasa-rasanya, kata itu terlalu seksi untuk dilontarkan. Tetapi, saya mengetahui jelas, disiplin tulisan saya makin hari makin tak beraturan, makin membuat orang meringis tak mengerti, makin membuat orang berdecak kesal, makin anarkis, makin resah, dari yang tadinya saya agak sensitif sekali dengan kata ‘perempuan, seks, pendidikan dsb.’ Sampai menjadikan kata-kata itu sesuatu yang musti saya ubah, dengan pola pikir saya sebagai manusia yang makin hari makin berkembang, makin merasa kosong dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya harus saya gaungkan, makin merasa bahwa ini adalah kebenaran, dan rasa-rasanya harus saya dobrak kebenaran itu.

Perawan, sebut sajalah bahasa entengnya ‘seks’. Rasa-rasanya untuk menyebutkan kata itu, terlalu sensitif untuk di dengar oleh kuping-kuping kaum perempuan tertutama. Tapi apa yang mereka tahu dari kata 'seks'? Dari kata 'keperawanan'? Dan apakah hal itu menjadikannya tolak ukur buat harga diri mereka? misalnya, ketika dia sendiri menyebutkan kata ‘seks’, hal itu malah membuat dirinya seolah-olah merasa berdosa sekali sebagai makhluk Tuhan. Ya, terkadang beberapa perempuan ada yang seperti itu, dan saya pernah menemuinya, karena satu hal yang perlu kita ingat kembali, bahwa perempuan perasaannya cenderung lebih peka, lebih sensitif dan lebih baper ketimbang laki-laki. Dan wajar ketika mendengar kata ‘seks’ atau menyebutkan kata tersebut, muncul perasaan tidak enak, dan tabu yang dirasakannya.

Dalam kajian live streaming instagram ‘Perempuan Mahardika’ yang dibawakan oleh Dea Safira sebagai Moderator dan Inna Hudaya sebagai Narasumber, Inna menyatakan bahwa "Seks itu bukan soal kamu udah gak suci atau engga, dan udah perawan atau engga, tapi seks itu pilihan." Kita sadar, kadang sebagai perempuan, kita masih menolak sebagian dari kata ‘SEKS’, tetapi perlu kita ketahui bahwa sebelum kita salah paham dengan kata tersebut, kita juga harus mengkaji argumen sendiri dan argumen orang lain mengenai seks, supaya pemahaman kita tentang seks itu sempurna, dalam arti bukan berdasarkan kajian atau persepsi kita sendiri, yang mungkin nantinya akan menimbulkan agree, terkhusus di mata kebanyakan kaum perempuan, dan disagree di mata kaum laki-laki.

Seperti yang sudah pernah saya jelaskan dalam opini saya sebelumnya yang berjudul ‘Suudzon Perspektif Patriarki’, bahwa budaya patriarki mengalami transisi atau perkembangan dari mulai masa nomaden, agraris (bertani) hingga saat ini. Begitupun mengenai awal mula kemunculan kata perawan atau seks sendiri, pertama kali muncul saat manusia masih tinggal atau hidup secara nomaden (berpindah-pindah). Dalam hal ini, persoalan seks dengan siapapun itu, tidak begitu dipermasalahkan, mau si perempuan pada masa itu mempunyai lima partner dalam melakukan hubungan seks misalnya, lalu punya anak, itu bukanlah hal yang rumit, justru hal itu malah membawa pengaruh yang baik dan bisa di terima, bahwa dalam hal ini, saat mengurusi anak si perempuan tidaklah sendiri, tetapi bisa di bantu dengan lima partnernya tadi sebagai ayah yang mengurus dan membantu si perempuan tersebut dalam membesarkan anak. Dalam arti, perasaan freedom itu masih ada. Tetapi ini jadi berubah. Seiring berjalannya waktu, ketika manusia mulai mengenal sistem pertanian (agraris), hidup mulai menetap, mulai mengenal lahan, disini pulalah manusia mulai mengenal properti sebagai hak milik mereka. Dari mulai hak-hak bertani dan berburu dikuasai, lahan tani yang dikuasai, sampai hak seks perempuan pun dikuasai atau dijadikan hak milik mereka juga. Kita sadar bahwa dalam hal inu, perkembangan zaman sudah mulai berkembang, atau semakin maju semakin ribet. Maka, ketika dulu si istri punya anak dan di urus oleh lima bapaknya tadi, sekarang sudah mengalami perubahan, dalam artian ketika si istri itu punya anak, maka harus punya bapak dan harus jelas bapaknya siapa. Jadinya, yang tadinya perempuan bisa punya beberapa partner, sekarang harus punya satu partner yang jelas, dalam sebuah contoh “saya sudah menetap disini, punya tanah, punya ternak, punya hasil tani, maka saya pun harus punya properti. Dan tanah saya, harta saya itu harus turun ke anak saya, jangan sampai turun ke anak yang ternyata dari laki-laki lain” Di sinilah perasaan ownership itu mulai ada, disini jugalah permainan kapitalisme untuk pertama kalinya di cetuskan, maka inilah yang saya sebut sebagai munculnya awal mula budaya atau konsep patriarki.

Lalu, zaman terus mengalami perkembangan, sampai akhirnya seks itu makin lama makin mengalami penyempitan ruang, terutama ketika manusia mulai mengenal agama, khususnya agama samawi. Ketika agama itu datang, para pemuka agama berusaha untuk menyebarkan paham agamanya di tengah-tengah masyarakat. Salah satu caranya adalah melalui inkulturasi agama, dimana agama sebisa mungkin harus bisa menyesuaikan pemahamannya dengan budaya yang sudah ada kala itu, dalam artian agama berusaha untuk mengadopsi culture mereka supaya mudah di terima dengan pendekatan atau cara pemahaman yang perlahan-lahan melalui berbagai metode atau media seperti musik, seni (wayang), politik, dan lain sebagainya. Maka dalam hal ini pula, ketika perempuan hanya boleh melakukan seks dengan laki-laki, konsep ini diperkuat lagi melalui ajaran agama, yang mana tidak hanya melakukan seks saja, lalu menikah. Tetapi juga ada konsep soal kesucian, karena itulah satu-satunya cara supaya kita bisa lebih dekat dengan Tuhan. Inilah yang pada akhirnya digaungkan dan difetishkan dalam tradisi masyarakat. Jadi, kalau dahulu dalam masyarakat agraris, dalangnya adalah properti dan rasa ownership, tetapi seiring berjalannya waktu saat manusia semakin berpikir berkembang, konsep properti dan perasaan ownership bukan lagi mempersoalkan harta, barang, atau yang lain, tetapi hak seksualitas si perempuan itu sendiri juga bahkan dikuasai, dalam bahasa yang lebih kasar, ‘pada akhirnya si perempuan inilah yang akan menjadi bahan atau alat propertinya juga oleh masyarakat patriarki dengan alibi semata-mata karena ia menyayangi istrinya, melindungi istrinya, dan lain sebagainya'. Inilah yang menyebabkan relasi perempuan dan laki-laki menjadi renggang, jangankan lawan jenis, sesama jenis saja bahkan terkadang saling merendahkan soal status keperawanan atau tidaknya mereka. Inilah yang nantinya akan menjadi pelecehan makna identitas antara perempuan yang baik dan perempuan tidak baik. Tanpa sadar, ini akhirnya menjadi kasus diskriminasi juga, kendati pun bukan dengan lawan jenis, tetapi juga sesama jenis. Lihat, begitu parahnya budaya patriarki yang sudah sebegitu kuat mengakar.

Jadi memang, pada dasarnya konsep ini di tujukan untuk perempuan, ditambah dengan ketakutan perempuan terhadap konsep hymen yang melindungi tubuhnya yang di barengi dengan perkembangan sistem agama, budaya, serta tradisi yang ada yang semakin kompleks. Dimana dalam hal ini, laki-laki menguasai perempuan sampai menguasai alat reproduksi perempuannya juga. Maka dalam hal ini, kita juga harus melek dan sadar bahwa, ketika perempuan telah mengalami kasus keperawanan, yang terlihat bukan lagi soal konsep dosa atau tidak, konsep suci atau tidak sucinya lagi, tetapi intinya, bahwa kita sebagai manusia harus sadar dan tahu, bahwa kita juga adalah makhluk yang biologis dalam arti kebutuhan seks itu selalu ada, tetapi kita juga sepenuhnya sempurna memiliki akal bahwa, seks juga tidak dilakukan secara anal dan sembarangan, kita bukan hewan yang melakukan apa-apa tanpa memikirkan sesuatu, kita harus memperhatikan bahwa “akankah kita bisa untuk menjalani hal tersebut? dan tidak berarti juga bisa menguasai perempuan tersebut?” ini satu pertanyaan yang penting yang harus di cermati. Adapun hal yang dapat menghambat perempuan tidaklah merdeka atas tubuhnya adalah (1) Kurangnya pendidikan seks yang tidak bisa membuat keputusan bagi si perempuan atas tubuhnya sendiri atau tidak mendapatkan haknya atas pendidikan seks yang bisa membuatnya lebih paham lagi terkait kesehatan seksual dan reproduksinya juga, (2) Semakin suburnya pandangan-pandangan yang merendahkan perempuan dan menguasai tubuh perempuan. 

Bagi saya, cara merdeka atau menghilangkan rasa trauma atau kehilangan harga diri bagi perempuan yang terlanjur sudah melakukan seks atau mengalami keperawanan yang tidak diinginkannya adalah dengan membangun perspektif perempuan tersebut bahwa identitas dia, harga diri dia, tidak di deskripsikan melalui keperawanan, inilah sebenarnya suatu cara dan hal yang penting yang memang harus dilakukan secara pelan-pelan terhadap si korban walaupun secara fakta, konsep keperawanan ini adalah riil atau nyata bagi dirinya dan tentunya permasalahan ini masih bergumul dalam jiwanya. Hilangkan pemikiran-pemikiran sempit yang dapat menimbulkan rasa intimidasi bagi dirinya, seperti “kalo bukan dia siapa lagi yang mau sama aku.” Pandangan ini tentunya berbahaya dan menyekat ruang-ruang kebebasan dan perasaan perempuan menjadi lebih inferior. Bahkan di dalam Islam sendiri tidak ada suatu ayat yang menentukan bagaimana kriteria pasangan yang harus kita pilih. Maka dalam hal ini, kita juga bisa menyimpulkan, bahwa orang yang sudah menikah dan melakukan hubungan seks, artinya adalah bahwa orang itu sudah siap, bukan atas karena ‘keterpaksaan’. Disisi lain orang yang secara sadar telah mengalami keperawanan yang tidak di inginkannya, maka hal yang harus ia tempuh adalah menghilangkan pemikiran dan perasaan yang mengintimidasi yang dapat menyebabkan ketidakmerdekaan bagi dirinya. 

Terakhir, pesan saya adalah apakah kamu mau identitas kamu, harga diri kamu itu hanya di tentukan oleh keperawananmu saja? Dan apakah kamu mau orang lain melihat kamu hanya dari sisi keperawananmu saja? Sedangkan kita harus ingat satu hal seperti yang dikatakan oleh Oka Rusmini bahwa “harga diri perempuan ada di tingkah laku, pikiran, dan cara dia mengambil keputusan untuk maju dan berkembang”. Dan bagi saya, sekedar menjadi perempuan saja tak cukup, jika tidak dibarengi dengan berpikir. 

Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bedah Buku: Integrasi Ilmu

  Integrasi Ilmu, Mulyadhi Kartanegara - Sebuah Rekonstruksi Holistiks sebuahresensi buku, karya abal-abal - Azhar Azizah Dalam hal ini basis sebagai dasar atau asas antara ilmu-ilmu agama dan juga ilmu-ilmu umum adalah satu dan sama, hal ini telah banyak di jelaskan dalam bab sebelumnya tentang teori wahdah al-wujud Mulla Sadra. Perbedaan yang terjadi diantara ilmu-ilmu agama dan juga ilmu-ilmu umum hanya sebatas pada pemilahan semata bukan pemisahan apalagi mengakibatkan pada penolakan ilmu-ilmu tersebut satu sama lain. Tujuan dilakukannya pemilahan ini menurut Mulyadi adalah bahwa ilmu-ilmu agama dapat menuntun kehidupan ruhani manusia sedangkan ilmu-ilmu umum dapat membimbing kehidupan duniawi manusia yang keduanya sama-sama penting dan bermanfaat.  Get it on below. Free!⏬ https://bit.ly/BedahBukuIntegrasiIlmu