Langsung ke konten utama

Suudzon Perspektif Patriarki

 "menilik, menalar, mengulik"

Penulis : Azhar Azizah, penyuka kopi, kiri dan melankolis.-

Bicara patriarki, lagi dan lagi. Entah kenapa saya tidak pernah bosan. Ada rasa greget yang membuat saya ingin sekali menyingkap tabir dibalik soal-soal patriarki. Yaa bukannya apa-apa, dari dulu sejak zaman era Neolitikum atau Zaman Batu Baru atau biasa disebut dengan zaman ketika manusia mulai mengenal sistem bercocok tanam yang berlangsung antara 7.000 sampai 10.000 tahun yang lalu, patriakisme ini mulai muncul. Laki-laki yang kala itu bertugas sebagai pemburu, ketika menyuruh para wanitanya untuk tetap tinggal di rumah-rumah mereka. Dengan rasa jengah dan butuh asupan makanan yang lebih daripada hasil perburuan, para wanita itu mengambil langkah yang cerdas. Memanfaatkan tumbuhan di sekitar sebagai sumber kehidupan juga sebagai sumber makanan yang harus dipanen demi mendapatkan hasil yang terus menerus, bahkan memanfaatkan aliran sungai dalam pembentukan kincir air supaya tanaman yang mereka tanam jika disirami dengan air pasti akan tumbuh subur. Disinilah "hukum peribuan" atau matriarchat berlaku, mereka mengemudikan masyarakat dengan hukum-hukum sosial tatkala lelakinya sibuk berburu, menghidupi alam dengan sistem pertanian dan irigasi, sampai mengorbankan jiwanya demi sejarah walau jarang bahkan invisible tak pernah tercatat dalam sejarah.

Melihat sistem pertainan yang tiap hari semakin lancar, dibanding perburuan yang sudah mulai sedikit. Para laki-laki itu lantas meneliti kegiatan wanitanya dengan cermat, menyisakan hasil perburuan yang tidak langsung diolah menjadi makanan, melainkan di kembangbiakkan menjadi sistem peternakan. Dengan rasa humanistis, merasa tidak tegaan, laki-laki pun mulai hadir sebagai dewa patriarkisme. Menawarkan dirinya untuk membantu pekerjaan para wanita itu dalam rangka mengolah pertanian. Dari mulai hal yang sederhana sampai berkuasa. Dengan rasa humanis yang luhur, melihat para lelakinya kepanasan di ladang, wanita itu berinisiatif tanpa diminta, dia pun memasak untuk para lelakinya. Menyiapkan makanan tatkala sudah seharian bekerja keras. Ingin sekali membantu pekerjaan lelakinya, tapi kebanyakan dilarang dan suruh berdiam di rumah. Wanita dengan kelembutannya tak bisa menolak, dia menerimanya.

Disinilah perasaan suudzon saya muncul terhadap patriakisme. Pernikahan dan rasa cinta tak lebih hanya sebatas untuk memenuhi hasrat seks saja, bukan karena ada rasa ingin melindungi. Ketika umur sudah mulai menua, badan semakin hari semakin lelah, tapi otak mereka tak pernah lelah. Dengan kecerdasannya, dia akhirnya berkompromi untuk memiliki keturunan kepada istrinya, kadang dia me-request supaya keturunannya adalah laki-laki agar bisa meneruskan pekerjaannya tatkala laki-laki itu sudah meninggal nanti. Mereka juga bilang, anak perempuan hanya merepotkan, tapi mereka tak pernah berpikir bahwa mereka sendiri juga keluar dari sebuah vagina, lahir dari seorang ibunya yang perempuan, mereka telah menyiksa dan menghina batin si ibu dan juga sang istri di hadapannyaa. Si istri hanya diam saja, kebodohan masih menyelimutinya. Perkataan itu seolah mengkultus dan mengakar dalam jiwanya, ditanam hingga berkembang lalu diberikan bebannya itu kepada anak-anaknya, terutama anak perempuan. Maka begitulah budaya patriarki, karena terlalu kebal dan mengejawantah, tiap omongan suami dan masyarakat yang sudah turun-temurun itu ia berikan kepada si anak yang masih tak tahu menahu dan sedang dalam masa pembentukan pikiran. Perasaan bersalah pun hadir dalam diri mereka sebagai kodrat seorang perempuan. Padahal yang bersalah bukanlah dirinya, tetapi perkataan suami dan juga laki-laki lain yang sudah menjadi rahmat dan mengkultus di hati dan pikirannya. Sekali lagi, sifat-sifat yang perempuan dapatkan sekarang, yang membuat mereka selalu menjadi lemah, nerimo, legowo, bodoh, dll bukanlah sifat kodrat yang melekat pada perempuan. Sejujurnya dalam hatinya juga ingin ada rasa perlawanan atau pemberontakan. Tetapi sifat-sifat itu didapatinya dalam jurang perbudakan budaya patriarki, yang terlalu kuat mengakar, yang membuat pikirannya terkungkung, yang semakin lama semakin mengakar di hati hingga akhirnya muncullah perasaan mengenang nasib sendiri, bisu, perasaan serba salah dan tidak enakan. Perasaan balas dendamnya itu ia luapkan pada si anak perempuan, hingga akhirnya hal ini menjadi seperti rantai makanan yang terus putar-memutar.

Dulu, ketika zaman masih jahiliah. Anak perempuan yang lahir selalu dibunuh ketimbang anak laki-laki yang dipelihara dan dibesarkan. Tapi sekarang, semakin majunya zaman, perasaan suudzon juga semakin menerka-nerka kuat, patriarki makin pandai dalam melakukan perbudakan, otaknya semakin cerdas untuk melakukan segala cara dalam melakukan sistemnya. Ini hanya sebatas suudzon saya terhadap patriarki, anda sepakat atau tidak terserah saja. Dan saya bukanlah menolak terhadap kehadiran laki-laki, yang saya tolak adalah pemikirannya yang kadang patriarki. Setelah pernikahan, yang dipikirkan bukan lagi urusan cinta, tetapi ekonomi, status dan nyawa. Memang, soal-soal ini adalah persoalan penting, dan saya tidak bisa juga menolaknya. Namun kadang orang terlalu sibuk dengan kesempurnaan, hingga akhirnya melupakan soal cinta dan kemanusiaan. Persoalan kasih sayang, sama rata sama rasa harusnya tidaklah hilang, tapi ketika mereka memikirkan seorang keturunan demi status dan penerus bagi mereka, mereka akan terus melakukan itu bersama sang istri, memiliki anak banyak untuk bisa menghidupi keluarga, punya pekerjaan yang enak dengan gaji yang besar, hingga lupa dan tak sadar bahwa kulit istrinya sudah menua karena terus berada di dapur, jarang diajak jalan karena sudah hampir letih tak kuat jalan, tidak terpancar kebahagiaan dalam wajahnya walau harta suaminya melimpah, walau anak-anaknya cerdas namun kecerdasan yang ditanam tak lebih untuk meraih keuntungan di masa depan, bukan tentang kemanusiaan. Tidak ada kebebasan, tidak ada rasa cinta, semuanya biasa-biasa saja walau harta hidup melimpah. 

Tapi ketika istrinya tak bisa memiliki keturunan, suami bosan dengan keadaan rumah tangganya yang itu-itu saja, dia juga bosan melihat sang istri yang sepertinya tak melakukan pekerjaan apa-apa menurut praduganya. Dia ingin menikmati hasrat kepuasan itu lagi bersama orang yang baru, yang bisa membawa keuntungan pada dirinya. Perselingkuhan pun terjadi di belakang sang istri secara diam-diam. Tidak ingin membuang-buang waktu, dia menceraikan sang istri, menyakiti hatinya yang terpukul, memberikan ketidakadilan yang memukul.

Inilah fenomena yang sering kita lihat. Patriarki tanpa sadar telah menjadi genosida yang terus mengakar, dan lebih parahnya, jika sedari sekarang tak disediakan kesempatan ruang dan raung untuk berpikir, perempuan akan terus terkungkung dalam kebodohan yang malang. Kita memang tidak bisa membebaskan diri dalam doktrin agama, dimana wanita harus patuh terhadap laki-laki, tapi agama juga mengajarkan bahwa ada hak-hak yang sama rata antara keduanya. Agama juga mengajarkan kebebasan selagi itu tidak melampaui batas. Tidak ada siapa yang paling unggul antara keduanya, semuanya saling membutuhkan. Cinta kasih, kepercayaan, dan komitmen diantara keduanya paling di butuhkan. Agama telah mengajarkan keadilan, kasih sayang dan kemanusiaan. Bukan mengajarkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Dan sebagai seorang penyuka anarkis, saya hanya menyampaikan keresahan dan nalar kritis saja dengan pandangan yang luas. Semoga perempuan terus berpikir dan humanis demi mendapatkan eksistensi atau kehadirannya. Kita memang akan selalu dan terus mencari jati diri, tetapi selagi itu bisa diseimbangi dan memberikan kesejahteraan yang baik dalam hidupnya, kenapa tidak? "Teruslah menjalankan hidup dengan sederhana nan kritis. Dan jadilah The Seeker di setiap kehidupan yang kau tempuh." Begitulah kira-kira kata Albertus Joni.

Referensi : 

-Majalah Bobo. Dulunya Berburu Sejak Kapan Manusia Bertani dan Bercocok Tanam? di Bobo.://www.google.com/amp/s/bobo.grid.id/amp/081897509/dulunya-berburu-sejak-kapan-manusia-bertani-dan-bercocok-tanam

Komentar

  1. Eksistensinya perumpuan berhak dijung-jung tinggi πŸ‘

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eksistensinya semua sama rata sama rasa. Kalo laki-laki bisa menghargai kedudukan perempuan, perempuan juga bisa sebaliknya. Inilah esensi dari humanism. Bukan bicara siapa yang paling unggul.

      Hapus
    2. Saya gak membicarankan soal unggul atau tidaknya, tapi. Saya membicarakan harus di jung-jung. Dan setiap gender mempunya eksistensi.πŸ™πŸ™

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bedah Buku: Integrasi Ilmu

  Integrasi Ilmu, Mulyadhi Kartanegara - Sebuah Rekonstruksi Holistiks sebuahresensi buku, karya abal-abal - Azhar Azizah Dalam hal ini basis sebagai dasar atau asas antara ilmu-ilmu agama dan juga ilmu-ilmu umum adalah satu dan sama, hal ini telah banyak di jelaskan dalam bab sebelumnya tentang teori wahdah al-wujud Mulla Sadra. Perbedaan yang terjadi diantara ilmu-ilmu agama dan juga ilmu-ilmu umum hanya sebatas pada pemilahan semata bukan pemisahan apalagi mengakibatkan pada penolakan ilmu-ilmu tersebut satu sama lain. Tujuan dilakukannya pemilahan ini menurut Mulyadi adalah bahwa ilmu-ilmu agama dapat menuntun kehidupan ruhani manusia sedangkan ilmu-ilmu umum dapat membimbing kehidupan duniawi manusia yang keduanya sama-sama penting dan bermanfaat.  Get it on below. Free!⏬ https://bit.ly/BedahBukuIntegrasiIlmu