Langsung ke konten utama

Mengulik Emansipasi Wanita dalam Novel Karya Pramoedya Ananta Toer Untuk Memperingati Hari Kartini


Mengulik Emansipasi Wanita dalam Novel Karya Pramoedya Ananta Toer Untuk Memperingati Hari Kartini

Penulis : Azhar Azizah, Mahasiswi Studi Agama-agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kalau kita berkaca di era zaman kolonialisme, tentu kita melihat perempuan hadir sebagai kaum yang inferior (lemah). Rasanya untuk memperjuangkan atau memerdekakan haknya sendiri bahkan sangat sulit untuk dilakukan. Pekerjaan mereka tak lebih dari 3M (memasak, mencuci, dan melayani kaum pria), khususnya para Nippon yang pernah hadir sebagai penguasa paling kejam di tanah pertiwi ini. Perempuan kala itu tak lebih dari seorang budak yang melayani para Tuannya (Dai Nippon). Janji-janji Jepang yang licik yang dilakukan dari mulut ke mulut untuk memberi kesempatan belajar kepada gadis-gadis pribumi agar dibawa ke Tokyo dan Shonanto (Singapura) tak lebih hanya omong kosong. Nippon juga rupanya memberikan janji kepada mereka bahwa sekembalinya dari pendidikan, mereka akan mendapatkan kedudukan yang baik. Mereka yang tidak tahu apa-apa, merasa senang-senang saja dengan adanya janji dan kesempatan belajar yang tidak boleh di sia-siakan ini. Namun mereka yang sudah tahu bahwa ini adalah taktik atau perangkap Jepang, dengan bersikeras mereka berusaha melarikan diri baik itu ada yang berhasil maupun tidak. Mereka yang setuju pada dasarnya juga bukan atas keinginan mereka, tetapi karena mereka takut pada politik Nippon yang sangat kejam kala itu.

Yang menjadi pertanyaanya, bagaimana bisa Jepang mengangkut gadis-gadis pribumi sebegitu banyaknya? Apa faktor yang menjadi keberhasilan mereka? Dikutip dalam novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer” halaman 12 yang menjadi rujukan pembahasan pada kali ini, bahwa ada tiga alasan yang menjadi faktor keberhasilan Jepang dalam menjalankan usahanya, “Pertama, gadis-gadis yang hatinya penuh berisikan cita-cita mulia untuk maju dan berbakti pada masyarakat dan bangsanya, bila tidak mengindahkan kenyataan yang berlaku, akan lebih mudah terpikat. Kedua, keadaan hidup yang mencekik memudahkan orang untuk melarikan diri pada khayalan, sehingga mudah masuk perangkap. Ketiga, ini yang lebih penting, adalah peran orangtua yang bekerja mengabdi pada Jepang.” Sungguh ironis melihat kenyataan perempuan-perempuan kala itu.

Lalu mereka yang setuju segera diangkut ke kapal untuk diberangkatkan. Tetapi di tengah perjalanan, khayalan yang mereka impikan untuk menjadi pembaharu pemikiran suatu bangsanya berubah drastis menjadi kehiduapan kelam yang mengguncangkan. Perasaan yang amat sedih karena telah berpisah dengan keluarga, takut, dan tak bisa lepas menguasai jiwa mereka dalam kegelapan. Lepas 1,5 mil dari pelabuhan, para tentara Nippon serentak melakukan serbuan terhadap para perawan tersebut. Mereka memperkosa, menyiksa dan menghancurkan idealisme perempuan-perempuan tersebut. Mereka berlari kesana-kemari untuk menyelamatkan diri. Sebagian tak dapat lepas dari terkaman Jepang. Sebagian lagi berhasil menceburkan diri ke dalam laut, itu pun ada yang berhasil atau tidak karena tertangkap oleh tentara Jepang yang melihatnya. Luar biasa, begitu dahsyatnya kekejaman Jepang saat itu.
Satu bulan setelah keberangkatan dan sama sekali tidak mendapatkan kabar apapun mengenai anak-anak gadis mereka yang tidak kembali lagi ke rumahnya. Keluarga yang ditinggalkan rela tak rela harus menerima kenyataan pahit ini. Dan mereka yang berhasil melarikan diri dari Jepang sepenuhnya pun tidak memiliki keberanian untuk kembali ke rumah karena malu. Mereka lebih memilih tersangkut di pulau dan memiliki kehidupan baru dengan orang yang tak dikenalnya sama sekali. Lihatlah bagaimana kenyataan pahit tak terduga yang harus di alami mereka dan tentunya memiliki trauma mendalam atas perlakuan Jepang yang mau tidak mau harus ditanggung mereka dalam keadaan yang sangat tidak memanusiakan.

Namun dengan hadirnya Kartini sebagai pembaharu dan pendobrak cita-cita para perempuan pribumi yang membelenggu, ini menjadi suatu kebanggan bersama bagi seluruh rakyat Indonesia dan tentunya menjadi sejarah yang terus berjalan sampai detik ini yang dibuktikan dengan adanya Hari Kartini sebagai Pahlawan Perempuan Kemerdekaan Nasional yang diselenggarakan setiap tanggal 21 April. Tentunya kita harus merayakan tokoh emansipasi ini karena kehebatannya yang  tidak hanya mampu mendobrak sistem feodalisme yang sangat mengakar dalam tubuh bangsa Indonesia, namun kecerdasannya dalam memerdekakan hak-hak perempuan yang harus mempunyai kedudukan yang sama rata dengan kaum lelaki juga patut dibanggakan sebagai salah satu cita-cita dan perjuangannya.
Ia berpendapat bahwa saat itu kedudukan wanita semasanya dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan rasanya tak lebih dari seorang budak yang terus melayani dan berbakti kepada suaminya. Pernyataan ini sudah membelenggu sejak dini dan menjadi tradisi yang mengakar terus-menerus. Padahal perempuan menurutnya juga adalah sama-sama manusia, yang sama makan nasi, artinya kalau laki-laki berpendidikan, perempuan juga seharusnya bisa berpendidikan yang utamanya menjadi kunci emansipasi. Tidak hanya pendidikan, perempuan juga seharusnya memiliki kebebasan untuk keluar rumah, dan menduduki jabatan dalam ranah yang lebih kompleks sama seperti kaum laki-laki.

Sekarang kita tahu bahwa cita-cita intelektual beliau harus dikembangkan sampai kapanpun. Karena perjuangan yang dilakukan oleh Kartini sejatinya tidak hanya memperjuangkan hak-hak atau cita-cita perempuan kala itu, tetapi juga perjuangannya dalam persoalan bangsanya yang kelam. Bahkan ini juga terkandung dalam gagasannya yang paling terkenal yang berjudul “Door Duisternis tot Licht” atau “Habis Gelap Terbitlah Terang” bahwa sinar pengetahuan modern menjadikan pengetahuan itu sebagai teropong kritis atas kekangan sistem feodal dan kolonial yang menghambat kemajuan masyarakat jajahan. 

#womenhumanrights!
#salamsuarayangmelawan!

Referensi : Perempuan Remaja Dalam Cengkraman Militer - Pramoedya Ananta Toer

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bedah Buku: Integrasi Ilmu

  Integrasi Ilmu, Mulyadhi Kartanegara - Sebuah Rekonstruksi Holistiks sebuahresensi buku, karya abal-abal - Azhar Azizah Dalam hal ini basis sebagai dasar atau asas antara ilmu-ilmu agama dan juga ilmu-ilmu umum adalah satu dan sama, hal ini telah banyak di jelaskan dalam bab sebelumnya tentang teori wahdah al-wujud Mulla Sadra. Perbedaan yang terjadi diantara ilmu-ilmu agama dan juga ilmu-ilmu umum hanya sebatas pada pemilahan semata bukan pemisahan apalagi mengakibatkan pada penolakan ilmu-ilmu tersebut satu sama lain. Tujuan dilakukannya pemilahan ini menurut Mulyadi adalah bahwa ilmu-ilmu agama dapat menuntun kehidupan ruhani manusia sedangkan ilmu-ilmu umum dapat membimbing kehidupan duniawi manusia yang keduanya sama-sama penting dan bermanfaat.  Get it on below. Free!⏬ https://bit.ly/BedahBukuIntegrasiIlmu