Penulis : Azhar Azizah, Mahasiswi Studi Agama-agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Konteks keberhasilan Islam dalam nuansa keindonesiaan baru menyebar setelah runtuhnya rezim orde baru. Berbagai macam metode dakwah Islamiyyah mulai bermunculan dan merupakan suatu bentuk respon terhadap goresan sosial, politik, dan ekonomi yang dialami bangsa Indonesia dan diaplikasikan ke dalam bentuk formalisasi syari'at Islam. Maka setelah itu, berkembanglah formalisasi syari'at Islam yang semakin timbul di wilayah Indonesia kala itu.
Namun dibalik keberhasilan syari'at Islam sebagai sebuah solusi justru malah berpotensi menimbulkan berbagai problem dalam aspek keindonesiaan, yang turut mempengaruhi aspek budaya. Misalnya, pakaian adat yang merupakan corak khas Indonesia mulai terpinggirkan dengan meningkatnya penggunaan identitas ke-arabian seperti jilbab. Pakaian adat sesekali muncul jika dalam acara-acara tertentu saja, misalnya pada upacara pernikahan yang dianggap perlu. Atau berbagai macam norma dan kesenian adat mulai tergantikan perlahan-lahan dengan dominasi norma-norma Islam dalam budaya Arab. Hal inilah yang menjadikan budaya Arab dianggap sebagai suatu yang fundamental dan absah dalam agama maupun budaya menurut pandangan masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, budaya arabisasi kian mengakar dan terus mendominasi daripada tradisi lain sehingga mengakibatkan tradisi Indonesia malah kian menghilang bahkan mati.
Kalau seperti ini, maka di satu sisi sistem Islam diterapkan, tetapi di sisi lain bagaimana dengan mereka yang tidak beragama Islam? Sedangkan Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang majemuk dan multikultural? Maka secara otomatis mereka yang tidak beragama Islam akan berkedudukan dibawah warga negara beragama Islam. Dan inilah yang menjadi kekhawatiran akan terjadinya kelunturan nasionalisme bangsa. Selain memberikan ancaman internal dalam konteks keindonesiaan, pemberlakuan Islam sebagai ideologi juga dapat mengancam dan memunculkan ketakutan terhadap umat muslim sendiri. Bukankah hal ini justru merugikan upaya dakwah Islamiyyah? Bukankah formalisasi syari'at Islam malah nyatanya tidak memberikan kesadaran bagi umat Muslim sendiri tentang arti Islam sesungguhnya? Dan bukankah ini malah jadi kemunduran nama Islam sendiri?
Dengan adanya fenomena seperti ini, dikhawatirkan formalisasi syari'at Islam yang sebenarnya malah akan menjadi hipokrit, misalnya Islam yang dianut seseorang hanya sebagai simbol saja, tetapi psikologi beliau malah ingkar dengan syari'at Islam sendiri, yakni masih melakukan hal-hal yang di pantang oleh Islam. Umat muslim pada akhirnya akan terjebak pada formalisasi saja (simbol atau latar belakang) dan bukan karena kesadaran maupun ketulusan melaksanakan syari'at itu sendiri.
Maka dalam hal ini konteks islam dalam keindonesiaan sesungguhnya tidak cocok jika dengan mendirikan adanya negara islam dan menjadikannya sebagai ideologi, tetapi islam dalam konteks keindonesiaan yang sesungguhnya yang dikutip dalam buku karya H. Lebba Kadorre Pongsibanne yang berjudul 'Islam dan Budaya Lokal' yaitu adalah islam yang kultural, yakni islam yang mampu bertegur sapa, berdialog dan bersanding dengan komunitas atau agama yang lain, mengingat Indonesia terkenal dengan konsep pluralitas baik suku, etnis, budaya, bahasa maupun agamanya yang beranekaragam.
Hemat saya, bahwa kedatangan Islam tidaklah harus menghilangkan budaya masyarakat dari budaya lamanya, tetapi justru dapat melestarikan apa yang dianggap baik dan benar dari budaya lamanya dan dapat dipertahankan dalam nilai universalitas Islam. Islam tak perlu berusaha untuk menjadi negara Islam. Biarkan agama itu hidup dengan kebebesan hak masing-masing individu. Islam seharusnya mampu beradaptasi dan berakulturasi dengan kebudayaan yang lain.
Dan terbentuklah Islam yang Rahmatan Lil 'Alamin, yakni akan memunculkan kembali nilai keindahan Islam yang sesungguhnya.
#IslamdanNusantara
#IslamdanBudaya
Referensi :
Abdul Mu'im DZ - Mempertahankan Keragaman Budaya.
H. Lebba Kadorre Pongsibanne - Islam dan Budaya Lokal
Begitulah indonesia yang hanya menjadi flowers, sehigga lupa bahwa indonesia punya budaya.
BalasHapusMantap bung!
Hapus