Langsung ke konten utama

Eksistensi Perempuan Merdeka dalam Ruang Lingkup Pernikahan


Eksistensi Perempuan Merdeka dalam Ruang Lingkup Pernikahan

Penulis : Azhar Azizah, Mahasiswi Studi Agama-agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sebelum masuk ke dalam topik, saya ingin bertanya telebih dahulu. Bagaimanakah cara kita untuk menyikapi perbedaan gender? Apakah laki-laki adalah makhluk paling superior dan terus berkuasa? Apakah perempuan tidak bisa menjadi perkasa? Atau apakah perempuan tidak menyadari eksistensi dan terus berada dalam lingkaran kebodohan? Apakah selamanya perempuan lemah dan inferior? Dan apakah yang disebut cinta?

Sudah saatnya, evolusi filosofis ini digalakkan. Sudah saatnya pula kerangka berpikir ini terus dilakukan agar perempuan memahami keberadaan dirinya yang begitu penuh dengan kebengisan yang sesungguhnya. Sebagai seorang manusia, hendaknya perempuan dipahami untuk mampu melepaskan diri dari belenggu kejahatan patriarki yang mentradisi, kebodohan yang berkesinambungan, dan dari sebuah cinta yang nyatanya begitu munafik. 

Perempuan yang dicita-citakan sesungguhnya adalah mereka yang mampu berpikir anarkis dan bertindak humanis, keduanya relevan hingga akhirnya perempuan sudah punya dan memahami rasa cinta dan merdeka dalam dirinya. Untuk menghindari pemahaman yang rancu, dikutip dalam bukunya Emma Goldman halaman 50 yang berjudul Anarkisme, anarkis dipahami sebagai “sebuah filosofi tatanan sosial baru berdasarkan pada kebebasan yang tidak di batasi oleh hukum buatan manusia”. Dalam hal ini, anarkis dapat dipahami sebagai sebuah metode berpikir yang bebas dan radikal untuk mencapai suatu pemikiran yang di cita-citakan. Sedangkan humanis, dapat dipahami sebagai gerakan dengan menjujung tinggi keutamaan manusia yang berbudi luhur, yakni kebaikan hati, kebebasan hati, wawasan yang luas, dan bersifat universialisme.

Dewi anarki dan humanis ini adalah mereka yang memilih merdeka dan punya cinta dalam setiap tindakannya. Didasari pada kebijakan berpikir, ketulusan hati dan tidak mengenal pamrih, mereka adalah perempuan yang memilih merdeka. Perempuan seharusnya tidak lagi lemah, takut atau bisu dalam setiap tindakan maupun pemikirannya. Perempuan juga memiliki hak untuk menentukan “ya” atau “tidak”nya dalam setiap tindakan dan peristiwa yang disuguhkan. Dan pernikahan, pernikahan bagaimana yang masih bisa menjamin kemerdekaan adanya cinta bagi perempuan? 

Pernikahan seringkali melakukan ilusi optik. Pernikahan itu indah tapi ternyata pernikahan bukanlah suatu yang diidamkan, yang membebaskan mereka dari segi batiniah maupun lahiriah, tetapi pernikahan sesungguhnya adalah kasus perbudakan yang membelenggu dan mengikat dengan jaminan asuransi, ekonomi, kesehatan, dan keperluan lahiriah lainnya yang disuguhkan oleh superioritas lelaki kepada perempuan. Seperti dikutip dalam bukunya Emma Goldman yang berjudul Anarkisme halaman 232 bahwa “Keutamaan pernikahan adalah sebuah perjanjian ekonomi, sebuah perjanjian asuransi. Ia berbeda karena lebih mengikat dan ribet. Untuk mendapatkan jaminan itu, seseorang harus membayarnya dengan jumlah tertentu, dan selanjutnya dengan bebas untuk tidak melanjutkan pembayaran setelah perkawinan. Premium sang perempuan adalah suami. Perempuan akan membayarnya dengan namanya sendiri, hal-hal privat miliknya, harga diri, seluruh kehidupannya hingga pada kematiannya”.

Sejak kanak-kanak, kita sudah terbelenggu dengan doktrin yang mentradisi ini bahwa pernikahan adalah suatu cita-cita yang sempurna, tapi kita tak pernah diajarkan  bahwa pernikahan yang sesungguhnya adalah bahwa ketika kita menikah, maka nantinya kita akan jatuh dalam jurang komoditas sex patriarki yang metradisi sehingga ia akan menjadi seorang yang depensi. Lembaga pernikahan, janji suci pernikahan tidak lain adalah pintu awal yang menjadikan perempuan inferior dan kehilangan jati dirinya. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan pernikahan lalu menindasnya dengan pekerjaan kasar seumur hidup. Dan lelaki menertawakan istri-istri mereka karena telah jatuh begitu rendah untuk dirinya. Maka kalau begitu, pernikahan adalah sebuah bentuk kejahatan. Kita dapat mengetahui bahwa semua kaum lelaki mempunyai otak yang pintar dan cerdas, dan sebagai perempuan yang berpikir cerdik mereka seharusnya dua kali lebih pintar dan cerdas dari semua lelaki, “kita harusnya menikah dengan laki-laki macam apa?”.

Kalau seorang perempuan itu berpikir cerdik, maka seharusnya mereka berpikir dua kali bagaimana caranya mencapai suatu pernikahan yang berhasil. Kalau pernikahan itu berhasil, lalu mengapa sampai hari ini kita masih melihat ribuan anak dan ibu yang terlantar dan kelaparan? Kenapa sampai hari ini kita masih melihat perempuan-perempuan yang masih mengalami kesengsaraan, penderitaan, dan kesakitan fisik yang tiada henti? Dan kenapa sampai hari ini kita masih melihat kasus penceraian yang tiap tahun dan hari angka-angkanya selalu menaik? Sekarang kita bisa melihat, bukan? Janji-janji cinta cuma kemunafikan besar.

Cinta sebagai unsur yang mengakar kuat, bebas dan sempurna. Ia mendalam, mengarungi dalam semua kehidupan dan penuh harapan. Membangkitkan gairah dan takdir manusia untuk mencapai keadilan dan kebebasannya yang mutlak. Selama kita sadar menjadi humanis, selama itu pula kita memahami hakihat cinta. Selama kita sadar akan cinta, selama itu pula penderitaan, perbudakan, kesengsaraan, kelaparan, dan penceraian perlahan akan sirna. Semua orang membutuhkan dan mengemis cinta. Karena cinta tak mengenal pamrih dan tak membutuhkan bayaran. Sikap kemanusiaan itu lahir dan tumbuh begitu saja. Ia hanya ingin melihat semua berbahagia karenanya, mencapai kehidupan yang sempurna dan sederhana. Yang dibuktikan hari ini adalah bukan pengakuan pernikahan atau cinta, tapi bagaimana caranya untuk memanusiakan cinta? Dan sampai saat ini kita selalu buta mengenal cinta, seringkali kita mengagungkan hipokritnya cinta. Selama lelaki dan perempuan masih belum terbuka dan sadar akan eksistensinya sebagai manusia, maka sampai hari ini mereka masih belum memahami dan mengenal hakikat cinta. Karena manusia sesungguhnya adalah mereka yang memahami dan mengenal cinta yang murni. Dan perempuan yang merdeka adalah mereka yang punya cinta, memahami cinta, dan mengerti tentang hakikat cinta yang murni. Sejarah ini tidak akan bisa dapat dihapus, selama perempuan masih belum menyadari eksistensinya sebagai manusia yang berpikir anarki dan humanis dan selama laki-laki tidak menyalahpahami dirinya sebagai patriarki yang berkuasa.

Terakhir dari saya, kalau perkembangan feminisme masih tak bisa di galakkan, maka bersiaplah untuk menghadapi revolusi-filosofis perempuan yang idealis, adil dan konkret, bukan lagi mimpi-mimpi bisu yang imajinatif.

#salamfeminis!
#salamsuarayangmelawan!

Referensi : Anarkisme - Emma Goldman

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bedah Buku: Integrasi Ilmu

  Integrasi Ilmu, Mulyadhi Kartanegara - Sebuah Rekonstruksi Holistiks sebuahresensi buku, karya abal-abal - Azhar Azizah Dalam hal ini basis sebagai dasar atau asas antara ilmu-ilmu agama dan juga ilmu-ilmu umum adalah satu dan sama, hal ini telah banyak di jelaskan dalam bab sebelumnya tentang teori wahdah al-wujud Mulla Sadra. Perbedaan yang terjadi diantara ilmu-ilmu agama dan juga ilmu-ilmu umum hanya sebatas pada pemilahan semata bukan pemisahan apalagi mengakibatkan pada penolakan ilmu-ilmu tersebut satu sama lain. Tujuan dilakukannya pemilahan ini menurut Mulyadi adalah bahwa ilmu-ilmu agama dapat menuntun kehidupan ruhani manusia sedangkan ilmu-ilmu umum dapat membimbing kehidupan duniawi manusia yang keduanya sama-sama penting dan bermanfaat.  Get it on below. Free!⏬ https://bit.ly/BedahBukuIntegrasiIlmu